Sejarah Perkembangan Islam di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur - TUGAS SEJARAH


Sejarah Perkembangan Islam di Nusa Tenggara Barat


Hasil gambar untuk masjid bayan lombok - sejarah islam


Kali ini kita akan melihat sejarah awal mula masuknya islam di Nusa Tenggara, khususnya pada bagian barat. Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia. Provinsi NTB biasa juga disebut sebagai daerah kepulauan. Dua pulau terbesar di provinsi ini adalah Lombok yang terletak di barat dan Sumbawa yang terletak di timur. Ibu kota provinsi ini adalah Kota Mataram yang berada di Pulau Lombok. Sebagian besar dari penduduk Lombok berasal dari suku Sasak, sementara suku Bima dan Sumbawa merupakan kelompok etnis terbesar di Pulau Sumbawa. Mayoritas penduduk Nusa Tenggara Barat beragama Islam (96%).


Masyarakat yang mendiami pulau Lombok awalnya menganut kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.

Kerajaan Selaparang menjadi sebuah bangunan kesejarahan yang utuh dan menyeluruh agaknya memerlukan pengkajian yang mendalam. Permasalahan utamanya terletak pada ketersediaan sumber-sumber sejarah yang layak dan memadai. Sumber-sumber yang ada sekarang, seperti Babad dan lain-lain memerlukan pemilihan dan pemilahan dengan kriteria yang valid dan reliable. Apa yang tertuang dalam tulisan sederhana ini mungkin masih mengundang perdebatan. Karena itu sejauh terdapat perbedaan-perbedaan dalam pengungkapannya akan dimuat sebagai gambaran yang masih harus ditelusuri sebagai bahan pengkajian lebih lanjut.

Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat (2002) mencatat tiga pendapat tentang asal mula sejarah kerajaan Selaparang.


A. Pendapat Pertama

          Kerajaan Selaparang merupakan proses kelanjutan dari kerajaan tertua di pulau Lombok, yaitu Kerajaan Desa Lae' yang diperkirakan berkedudukan di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam perkembangannya masyarakat kerajaan ini berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu kerajaan Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga berada di Desa Sembalun sekarang. Dan ketika Gunung Rinjani meletus, penduduk kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya kerajaan. Betara Indra kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang terletak di sebelah utara Perigi sekarang. Setelah berakhirnya kerajaan yang disebut terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau Kerajaan Selaparang.

B. Pendapat Kedua

          Setelah Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspahit melarikan diri ke dalam hutan dan sekembalinya tentara itu Raden Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu Parang yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.

C. Ketiga
          Pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinya ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi) dan Dompu

Dari ketiga pendapat diatas agak sulit untuk membuat penafsiran mengenai sejarah kerajaan Selaparang. Minimnya sumber-sumber sejarah menjadi alasan yang tak terelakkan.

·         Masuknya Islam
Ketika Kerajaan Lombok dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan Ratu Giri datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara. Proses pengislaman oleh Sunan Prapen berjalan dengan lancar, sehingga beberapa tahun kemudian seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali beberapa tempat yang masih mempertahankan adat istiadat lama.

Sunan Ratu Giri memerintahkan keyakinan baru disebarkan ke seluruh pelosok. Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu bandan di kirim ke Makasar, Tidore, Seram dan Galeier dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok dan Sumbawa. Prapen pertama kali berlayar ke Lombok, dimana dengan kekuatan senjata ia memaksa orang untuk memeluk agama Islam. Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen berlayar ke Sumbawa dan Bima. Namun selama ketiadaannya, karena kaum perempuan tetap menganut keyakinan Pagan, masyarakat Lombok kembali kepada faham pagan. Setelah kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali dan dengan dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah baru yang kali ini mencapai kesuksesan. Sebagian masyarakat berlari ke gunung-gunung, sebagian lainnya ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukkan. Prapen meninggalkan Raden Sumuliya dan Raden Salut untuk memelihara agama Islam dan ia sendiri bergerak ke Bali, dimana ia memulai negosiasi (tanpa hasil) dengan Dewa Agung Klungkung.


Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang maju di berbagai bidang. Salah satunya adalah perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan manusia-manusia sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari ini. ahli sejarah berkebangsaan Belanda L. C. Van den Berg menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat memengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, Lapel Adam, Menak Berji, Rengganis dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim dan sebagainya.

Menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam bidang sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama 6 lembar menggariskan sifat dan sikap seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma dan Warsa.

Danta artinya gading gajah, apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi.
Danti artinya ludah, apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi.
Kusuma artinya kembang, tidak mungkin kembang itu mekar dua kali.
Warsa artinya hujan, apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik kembali menjadi awan.
Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah dalam perkataan.
Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil), tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama),tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia) atau terpi (teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak (terampil) atau genem (rajin).

Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang. Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi menemui kegagalan.

Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik memaanfaatkan situasai untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim Dangkiang Nirartha untuk memasukkan faham baru berupa singkretisme Hindu-Islam. Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat memengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini.

·         Penyebaran Islam di Lombok (abad ke-16)

Ada beberapa versi yang menyebutkan bermulanya penyebaran Islam di Lombok, salah satunya adalah melalui Bayan, sebelah utara pulau ini. Selain di Bayan, penyebaran agama Islam juga diyakini berawal dari Pujut dan Rembitan di Lombok Tengah. Masjid kuno yang terdapat di tempat-tempat tersebut menjadi salah satu bukti tentang penyebaran Islam dari wilayah itu.

Desa Bayan, Lombok Utara, 80 kilometer arah utara Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, dan keseharian masyarakatnya selama bulan suci Ramadhan tidaklah berbeda dengan banyak wilayah pedesaan di Indonesia. Dari tepi jalan lingkar Pulau Lombok, keberadaan bangunan yang telah menjadi situs purbakala yang dilindungi tersebut tak mencolok, seperti juga rumah-rumah di desa itu.

Selain di Bayan, masjid kuno juga ada di Gunung Pujut, di Desa Rembitan dan Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk dalam kawasan Desa Sekarbela. Meski punya ciri yang sama, situs dan budaya di tempat-tempat itu memiliki perbedaan yang menjadi tanda Islam masuk Lombok di beberapa tempat sekaligus. Islam masuk Lombok melalui Jawa, Gowa, dan Bima. Mengenai Bayan, masuknya dari Jawa.
Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk dalam kawasan Desa Sekarbela ini telah mengalami renovasi beberapa kali. Renovasi yang pertama dilakukan setelah Masjid terbakar akibat peperangan antara masyarakat Sekarbela yang menuntut kematian Tuan Guru Padang Reak dengan penguasa saat itu. Saat itu, bentuk masjid Sekarbela berbentuk empat persegi dengan dinding bedek, atap rumbia, lantai tanah dan yang menjadi ciri khas adalah empat soko guru. 

Setelah kebakaran, Masjid dibangun kembali oleh TGH Mustafa dan TGH Moh. Toha. Bentuk Masjid masih sederhana dengan empat soko guru. Dari peninggalan yang ada yakni sebuah kaligrafi tertulis angka 1350 H. Saat itu bangunan Masjid sudah lebih baik dari sebelumnya namun masih sederhana. Kemudian pada tahun 1890 M, atas prakarsa TGH M Rais, masjid direnovasi dengan memanfaatkan atap dari genteng. Jamaah yang semakin banyak menginspirasikan penerus selanjutnya, yakni TGH Muktamat Rais anak dari TGH Muhamaad Rais, untuk membangun kembali Masjid pada tahun 1974 dengan kontruksi beton. Namun dikarenakan jamaah yang semakin banyak dan kompleknya kegiatan, pada tahun 2001 Masjid direnovasi kembali dengan desain Timur Tengah dan berlantai tiga.
Menurut beberapa catatan, penyebaran agama Islam melalui Bayan dilakukan oleh Sunan Prapen, keturunan dari salah seorang Wali Songo— penyebar agama Islam di Ja wa—yakni Sunan Giri. Namun, tak diketahui persis mengapa Bayan menjadi tujuan pertama Sunan Prapen.

·         Penyebaran Melalui Dakwah
Sampailah kemudian Sunan Prapen di Lombok dalam misi penyebaran agama Islam. Ia dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut. Dengan kekuatan senjata disebutkan, Sunan Prapen mampu menaklukkan beberapa kerajaan yang merupakan warisan Majapahit, lalu mengislamkan masyarakatnya.
Satu yang mungkin bisa direka-reka yakni Sunan Prapen melakukan pelayaran dalam upaya penyebaran Islam ke wilayah timur nusantara dari Gresik lewat pantai utara Jawa. Dia tidak berlabuh ke Pulau Bali, tapi langsung ke Bayan. Dari letak geografisnya, Bayan berada di tepi pantai utara Lombok sehingga sangat mungkin Sunan Prapen melempar sauh di sini. Belakangan, Sunan Prapen diperkirakan barulah ke Pulau Bali (meski misinya gagal) setelah dari Sumbawa dan Bima.

“Di setiap pantai, penyebaran itu memang ada. Penyebaran dilakukan oleh pedagang-pedagang dari Arab dan Jawa. Kebanyakan datangnya dari Jawa,” kata budayawan setempat, Ahmad JD, kepada Republika, tentang asal muasal penyebaran Islam di Lombok melalui pantai utara. “Yang monumental adalah peninggalan kebudayaan tulis dari Jawa. Ini menunjukkan adanya jejak wali dari Jawa, yakni Sunan Prapen,” lanjutnya.

Anggun Zamzani (2009) dalam penelitiannya mengenai “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok Abad XVI-XVIII” menemukan bahwa agama Islam masuk ke Pulau Lombok pada abad XVI melalui misi yang dipimpin oleh Sunan Prapen, putra Sunan Giri. Mengenai bukti-bukti berkembangnya Islam di Lombok dapat dilihat dari adanya peninggalan masjid kuno yang ada di Bayan, Lombok Utara, yang disebut dengan Masjid Bayan Beleq dan masjid kuno yang ada di Pujut dan Rembitan Lombok Tengah. Selain itu, juga terdapat makam raja-raja Selaparang yang ada di Lombok Timur.

Selain bukti arkeologi, Anggun juga menemukan bukti lain, yakni dalam bidang seni sastra, baik itu seni tabuh, seni suara, maupun seni tulisan. Dalam penelitian ini juga me nun jukkan bahwa agama Islam da pat ber kembang di Lombok, selain karena peranan para penyebar agama Islam seperti Sunan Prapen, juga adanya peranan dari rajaraja yang ada di Lom bok sendiri. Pada perkembang an selanjutnya, agama Islam berkembang di Lombok lebih diprakarsai oleh adanya Tuan Guru.

Penyebaran agama Islam di Lombok disebutkan juga datang dari Gowa (Sulawesi Selatan) dan Bima. “Memang ada dua versi mengenai masuknya penyebaran agama Islam di Pulau Lombok. Versi pertama mengatakan datang dari Jawa, sementara versi satunya lagi yakni dari Sulawesi atau Makassar,” kata Dr Akhyar Fadli, dosen dan peneliti sejarah Islam di Lombok dari Institut Agama Islam Qomarul Huda, Praya, Lombok Tengah. “Juga banyak versi tentang masuknya abad ke berapa,” tambahnya.

Menurut Akhyar, penyebaran yang datang dari Jawa dibawa oleh Sunan Pengging (nama lain Sunan Prapen) sekitar abad ke-14. Pada saat itu, Sunan Prapen bersama para pengikutnya berlabuh di Labuhan Carik, dekat Bayan, Lombok Utara. “Menurut sejarah yang saya temukan, Sunan Pengging memang pertama kali menginjakkan kakinya di Bayan untuk menyebarluaskan ajaran Islam,” jelasnya.
Jejak yang seakan membenarkan mula penyebaran Islam di Lombok melalui Bayan adalah terbentuknya komunitas/masyarakat adat Islam wetu telu di sana. Ini adalah komunitas Islam tua yang sampai sekarang masih ada di Lombok dengan pusatnya di Bayan. Mereka menjalani ajaran Islam dengan tidak meninggalkan ritual adat leluhurnya.

Selain terbentuknya komunitas wetu telu, menurut Akhyar, masjid kuno yang sampai sekarang masih berdiri di Bayan adalah bukti lain mengenai penyebaran Islam oleh Sunan Prapen melalui Bayan. Setelah menemukan lokasi yang tepat, Sunan Prapen mendirikan masjid di sana sebagai pusat syiarnya dalam mengislamkan penduduk setempat sebelum menyebar ke seluruh Lombok.

Dari Bayanlah kemudian penyebaran itu menuju ke sebelah barat, tengah, serta timur. Jejaknya adalah terdapatnya komunitas wetu telu di wilayah-wilayah tersebut. Di Lombok Barat, mereka ada di Narmada dan Sekotong. Di Lombok Tengah, komunitas ini ada di Pegadang, Pujut, dan Rambitan. Sedangkan, di Lombok Timur tidak begitu banyak.

Tidak banyaknya komunitas wetu telu di Lombok Timur terjawab dengan versi penyebaran Islam melalui Sulawesi. Penyebaran ini dibawa oleh para pedagang dan nelayan Sulawesi Selatan melalui Labuhan Kayangan, Lombok Timur pada abad ke-14. Jejaknya adalah banyaknya komunitas nenek moyangnya berasal dari Makassar di sepanjang pantai di Lombok Timur. “Mereka lebih dikenal dengan sebutan Islam Suni. Ada juga yang menyebutnya wetu lima,” kata Akhyar, yang menulis buku Islam Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak pada 2008.

Diperkirakan pengaruh Sunan Prapen di Lombok Timur tidak besar karena sudah ada penyebar agama Islam dari para pedagang dan nelayan Makassar tersebut. Diduga, Sunan Pra penatau pengikutnya meninggal kan la dang dakwah yang sudah dimasuki oleh para pedagang dan nelayan itu. Dalam sejumlah catatan, Sunan Pra penmemang disebutkan tidak begitu lama menetap di Lombok, dia kemudian menyerahkan tugas penyebar an Islam di pulau ini kepada dua orang kepercayaannya, Raden Sumu liya dan Raden Salut. Setelah itu, Sunan Pra pen menuju Pulau Sum bawa dan Bima.

Namun, Akhyar punya analisis tersendiri. Ada yang bilang dia ke Sumbawa, ada juga yang bilang dia kembali ke Jawa. Setelah saya lacak yang di Pulau Sumbawa ini banyak jejak kerajaan dari Makassar. Menurut saya, Sunan Prapen langsung kembali ke Jawa, tidak berlayar ke Sumbawa, ujarnya.
Setelah lima abad, Lombok dan Sum bawa yang kemudian menjadi Nusa Tenggara Barat mayoritas pendu duk nya adalah Islam. Dari sekitar 4,4 juta jiwa penduduknya, sekarang ini 80 persen adalah pemeluk Islam. Sisanya adalah Hindu, Budha, dan Kristen. Tentu saja Sunan Prapen, para muridnya, serta para pedagang Arab dan Makassar perannya dalam penyebaran Islam di kedua pulau ini tak bisa diabaikan.

Sebelum Islam masuk ke Lombok (juga Sumbawa), masyarakatnya adalah penganut kepercayaan pada animisme, dinamisme, dan Hindu. Masuknya agama Hindu di Lombok diyakini merupakan jejak dari kehadiran imperium Majapahit di pulau ini pada pertengahan abad ke-14.
Mengenai masuknya Islam di Lombok, beberapa catatan yang mengutip Babad Lombok menyebutkan, proses penyebaran agama Islam ini adalah usaha keras dari Raden Paku atau Sunan Giri dari Gresik yang memerintahkan raja-raja di Jawa Timur untuk menyebarkan Islam ke seluruh nusantara.

MASUKNYA ISLAM KE BIMA
    
          Mbojo (Bima) terletak di pulau Sumbawa bagian ujung timur , Indonesia. Daerah Bima sekarang terdiri dari Kota Bima dan Kab.Bima setelah terjadi pemekaran wilayah, kedua wilayah ini memiliki peninggalan budaya Mbojo, rumah adat (Arsitektur lokal) berupa UMA LEME atau biasa disebut UMA LENGGE oleh masyrakat setempat yang terletak didesa Padende- Donggo – kabupaten Bima, sedangkan pada kota Bima terdapat Istana Kesultanan Bima (ASI MBOJO) sebagai pusat pemerintahan kerajaan bima dulunya dan sekarang menjadi museum.

Islam masuk ke Bima pada hari Kamis tanggal 5 Juli 1640 M, atau bertepatan dengan tanggal 15 Rabiul Awal 1050 H. Islam pertama kali dibawa ke Bima oleh dua orang datuk keturunan bangsawan Melayu dari Kerajaan Pagaruyung yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat. Dua datuk yang juga berprofesi sebagai saudagar tersebut bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro. Sebagian literatur menyebut keduanya dengan nama Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro.

            Namun sejak tahun 1950-an saat peralihan pemerintahan dari Kesultanan menjadi Pemerintahan Swapraja, kegiatan ini terhenti dan tidak mampu sepenuhnya dihidupkan kembali. Tapi melihat kemauan dan masih tersisanya keluarga kerjaan di bima maka proses adat ini masih bisa terlaksana dari tahun 1980-an, 1990-an sampai saat ini masih ada kayaknya (soalnya saya ikut hanya 2003 lalu). Acara Ua Pua ini sendiri selain untuk memperingati hari kelahiran nabi muhammad saw, juga masih merupakan bentuk penghormatan Sultan Abdul Kahir Ma Ntau Bata Wadu (sultan Kerajaan Bima pertama) menganugerahkan sebidang tanah yang cukup luas kepada keduanya (Sebagai penghormatan atas jasa Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro dalam pengusiran ). Kelak, tanah pemberian Sultan Bima ini dijadikan sebagai tempat tinggal kerabat dan keluarga mereka. Seiring dengan perkembangan masyarakat, penghuni kampung tersebut kian bertambah ramai. Dan, akhirnya perkampungan tersebut diberi nama Kampung Melayu yang hingga saat ini masih ada di bima dan sekarang masuk kota bima (kalau kampung ini dekat dengan kampung sarae.

          Bima merupakan salah satu Kerajaan islam tersohor di Indonesia bagian Timur. Kesohorannya hingga pernah berstatus swapraja selama kurun waktu 5-6 tahun dan hingga kini masih didapati bukti dan peninggalannya. Beragam tradisi dan budaya terlahir dan masih dipertahankan rakyatnya. Salah satu yang hingga kini masih kekal bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga kini nyaris kehilangan makna. Rimpu merupakan busana adat harian tradisional yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640.Masuknya rimpu ke Bima amat kental dengan masuknya Islam ke Kabupaten bermotokan Maja Labo Dahu ini. Pedagang Islam yang datang ke Bima terutama wanita Arab menjadi ispirasi kuat bagi wanita Bima untuk mengidentikkan pakaian mereka dengan menggunakan rimpu.

Sebuah masjid tertua di Bima hingga kini masih bediri di Kelurahan Melayu Kecamatan Asakota, Kota Bima. Hanya saja, kondisi cagar budaya itu tak terurus dan hanya berfungsi sebagai Tempat Pendidikan Qur’an (TPQ) oleh warga setempat. Bahkan sejumlah benda bernilai sejarah tinggi raib. Pantauan Suara NTB, mesjid yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu dan beratap seng itu masih berdiri kokoh diantara rumah penduduk. Konon masjid itu dibangun dua utusan Sultan Goa Sulawesi Selatan untuk mensyi’arkan Agama Islam di Bima.
                                
Ua Pua sebuah tradisi Islam yang menggugah, penuh makna, menggagukan nilai-nilai islam. “Islam sebagai agama Rahmatan lilalami”, demikian dikatakan Hj. Siti Mariyam saat menyampaikan sambutan sebagai Ketua majelis Adat Sara Dana Mbojo, di Asi Mbojo (27/02). “Perayaan Hanta U’a Pua tidak hanya sekedar prosesi biasa, tetapii Hanta U’a Pua mengandung sebuah janji yang disimbolisasikan dengan siri puan yang dihantarkan oleh Penghulu melayu kepada Sultan Bima kala itu. “ bahwa setiap pembesar Dana Mbojo dari Sultan, Turelli, Jeneli dan Gelarang harus berpegang teguh ajaran Islam dengan benar dan sungguh-sungguh”. Itulah perkataan yang tertulis dalam naskah-naskah lama




Sejarah Perkembangan Islam di Nusa Tenggara Timur


Menurut beberapa sumber, agama Islam pertama kali memasuki Nusa Tenggara Timur pada abad ke-15 yang dibawa oleh para pedagang dan ulama tepatnya di Pulau Solor, Flores Timur. Penyebaran agama Islam ini pertama kali dilakukan seorang ulama pedagang dari Palembang yang bernama Syahbudin bin Salman Al Faris yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Menanga. Daerah selanjutnya yang dimasuki Islam adalah Ende, Alor, seluruh Flores, Timor, dan Sumba. Mengenai pola pendekatan penyebar agama Islam di NTT asal Palembang Syahbudin bin Salman Al Faris menggunakan pendekatan kekeluargaan dan memegang tokoh-tokoh kunci daerah setempat.

Berikut beberapa pendapat tentang sejarah masuknya islam di nusa tenggara timur :

Menurut Abdul Kadir G. Goro dalam sebuah thesisnya yang berjudul “Sejarah Perkembangan Agama Islam di Kabupaten Kupang” (1977), Sejarah masuknya agama Islam di Kupang erat hubungannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia. Dari Ternate, Islam meluas meliputi pulau-pulau di seluruh Maluku, dan juga daerah pantau timur Sulawesi.

Seorang peneliti dan penulis buku tentang sejarah Islam di NTT,  Munandjar Widiyatmika di Kupang, Selasa mengatakan bahwa “Dari sumber-sumber sejarah yang berhasil saya himpun, agama Islam masuk pertama kali di pulau Solor di Menanga pada abat ke-15 kemudian ke Ende dan Alor,” katanya dalam suatu wawancara terkait masuknya agama Islam pertama di NTT.

Beliau juga berpendapat bahwa Solor menjadi daerah pertama penyebaran agama Islam di NTT karena letaknya strategis dengan bandar-bandar penting di Pamakayo, Lohayong, Menanga dan Labala, sangat penting bagi kapal yang menunggu angin untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Timor dan Maluku, demikian pula di Ende dan Alor.

“Masuknya agama Islam ini dibawa oleh pedagang sehingga sangat wajar kalau penyebarannya dilakukan mulai di sekitar bandar-bandar startegis yang banyak dikunjungi para pedagang Islam dari luar, dan Solor adalah daerah peristirahatan sebelum ke pusat penghasil cendana di Pulau Timor,” katanya. Bahkan ketika itu Portugis sendiri membangun benteng di Pulau Solor karena Solor merupakan daerah yang paling tepat untuk berisiraharat sambil melanjutkan perjalanan ke Pulau Timor.

Sultan Menanga kawin dengan  seorang puteri raja Sangaji Dasi dan menjadi orang pertama yang memeluk agama Islam di NTT dan kemudian diikuti anggota keluarganya. Artinya, berkat pengaruh Sangaji Dasi, keluarga dan pengikutnya dengan mudah diajak menjadi pemeluk agama Islam. Bahkan untuk kepentingan pengembangan agama Islam di Solor, Sultan Menanga kemudian ditempatkan di perbatasan antara kerajaan Lamakera dan Lohayong dan berhasil membangun kampung muslim pertama di Menanga. Dari situlah agama Islam kemudian tersebar ke daerah lain seperti Alor, dan seluruh Flores, Timor dan Sumba.

Sejak masuknya agama Islam di NTT sampai abat ke-16, para pembawa agam islam belum tergerak mewujudkan lembaga sosial keagamaan Islam dan lembaga pendidikan Islam sebagai penunjang penyebaran agama Islam. Hal ini berbeda dengan penyebaran agama Islam di pulau Jawa yang tidak saja ditunjang para wali dan ulama tetapi juga sistem pendidikan di Pondok Pesantren.

Perkembangan agama Islam di NTT sejak abad ke 16

Pada abad ke-16 muncul Kerajaan Gowa yang berasal dari Sulawesi selatan. Pengislaman dari Jawa disini tidak begitu berhasil, akan tetapi berkat usaha seorang ulama asal Minangkabau pada awal abad ke-17, raja Gowa itu akhirnya memeluk agama Islam juga. Nah, atas kegiatan orang-orang Bugis, maka Islam masuk pula di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara, juga beberapa pulau di Nusa Tenggara.

Dengan meluasnya kekuasaan Kerajaan Tallo dan Goa di Nusa Tenggara Timur, maka masuklah agama Islam di Nusa Tenggara Timur. Selain pengaruh dari Sulawesi Selatan, masuknya agama Islam di NTT disebabkan pula oleh masuknya orang-orang yang beragama Islam dari Ternate – Maluku ke daerah ini.

Menurut cerita rakyat di Pulau Alor, pembawa agama Islam yang pertama ke Pulau Alor adalah “Djou Gogo”, Kima Gogo, Salema Gogo, Iyang Gogo, Abdullah dan Muchtar yang berasal dari Ternate-Maluku.

Setelah masuknya agama Islam ke Pulau Solor sekitar abad ke XVI, maka dengan perantaraan orang-orang yang beragama Islam dari Solor, agama Islam masuk ke Batu Besi Kupang sekitar tahun 1613.

Melalui komunikasi laut, agama Islam berhasil dikembangkan di daerah-daerah pesisir Kabupaten Kupang yang strategis letaknya, sehingga terbentuknya masyarakat Islam di Kupang pada mulanya terjadi di daerah-daerah pesisir.

Dalam catatan sejarawan, masyarakat Islam yang berada di pesisir Pulau Timor telah muncul di Kupang, Toblolong (Kecamatan Kupang Barat), Sulamu (Kecamatan Kupang Timur), dan Naikliu (Kecamatan Amfoang Utara), Babau (Kecamatan Kupang Timur). Di tempat inilah, para nelayan, pelayar, dan pedagang menyinggahi dan menetap di daerah-daerah ini. Perkampungan Islam juga terbentuk di Pulau Sabu (Kecamatan Sabu Barat) di daerah pesisir.

Bila diurai satu per satu, Toblolong merupakan daerah pesisir yang strategis, karena letaknya sebagai jembatan penghubung antara Kupang dan Pulau Rote. Sebelum menyebrang ke Rote, para pendakwah yang juga pelayar dan pedagang terlebih dulu singgah di Toblolong untuk mempersiapkan perbekalan atau menunggu keadaan angin dan arus yang memungkinkan mereka untuk meneruskan pelayaran. Akibatnya, orang Islam yang singgah di daerah ini – kabarnya orang-orang Islam dari Solor-Lamakera -- menetap di Toblolong sekitar tahun 1.900, hingga terbentuklah masyarakat Islam di wilayah ini.
Adapun terbentuknya masyarakat Islam di Sulamu, berawal dari para nelayan yang beragama Islam dari Kaledupa yang memasuki daerah Sulamu sekitar tahun 1918, hingga terbentuklah masyarakat Isla di Sulamu.

Ihwal terbentuknya masyarakat muslim di Babau, bermula setelah masuknya para nelayan yang beragama Islam (berasal dari Pulau Butung-Sulawesi) untuk menangkap ikan ke daerah ini. Kemudian masuklah pedagang-pedagang Bugis, Makasar dan Solor untuk berniaga.

Masuknya Ahmad Horsan ke Tainbira untuk berniaga dan berdakwah, pada tahun 1952, ia berhasil mengislamkan masyarakat Tainbira. Begitupula, masyarakat Islam terbentuk di Camplong sekitar tahun 1955, setelah menetapnya Hamid dan Mahmud  yang datang untuk mencari nafkah. Masyarakat Islam juga terbentuk di Takari sejak 1955, saat masuknya keluarga Aqlis untuk membeli hewan untuk diperdagangkan. Sedangkan masyarakat Islam di Naikliu terbentuk ketika para pedagang dari Sulawesi memasuki wilayah ini sekitar tahun 1975.

Sejarah Singkat Hadirnya Agama Islam di Kupang
Sejak jaman penjajahan ketika terjadi peperangan antara Belanda dan Portugis, Belanda mendatangkan pasukan dari berbagai daerah. Diantaranya penduduk daerah yang didatangkan ke Kupang adalah penduduk dari Solor. Mereka pada umumnya beragama Islam. Diantara penduduk yang datang dari Solor terdapat seorang tokoh bernama Atu Laganama (1749-1802) yang aktif dalam menyebarkan agama Islam dengan mendirikan madrasah dan menjadi imam di Kampung Solor, Batu Besi (mungkin nama lain dari Fatubesi) Kedudukan sebagai imam pada tahun 1802 digantikian oleh Sangaji Susan. Di samping penduduk dari Solor, pada tahun 1772 datang seorang dari Benggala ke Kupang, bernama Abdulrachman. Ia bersama Atu Laganama membangun masjid pertama di Batu Besi. Pada waktu itu di Kupang telah ada + 300 orang Islam (Goro, 1977:78).



           Masjid pertama itu kemudian dipindahkan ke dekat toko Cong Ah. Pada Tahun 1912 didirikan pula masjid Kampung Solor (tampak pada foto di atas), terletak dekat Hotel Abdulrachman. Yang menjadi imam pertama Burhan bin Banit. Pada Tahun 1953 masjid tersebut direnovasi atas prakarsa Bai Kadi, A. Arba dan Mahyun Amaradja. Dari Kampung Solor, umat Islam mulai tersebar ke Bonipoi dan Airmata. Pemimpin Desa Airmata pada mulanya adalah Imam Sanga. Setelah meninggal ia diganti oleh puteranya yang bernama Sya'ban bin Sanga, Sya'ban bin Sanga memulai merintis pembangunan masjid Airmata Kupang pada Tahun 1812. Umat Islam di Airmata semakin berkembang dengan kedatangan tokoh dari luar Airmata. Pada Tahun 1825-1830 telah datang Pangeran Surya Mataram. Demikian pula Syeh Syarif Abu Bakar bin Abdulrachman Algadri dari Pontianak. Ia disingkirkan oleh Belanda ke Sumba kemudian ke Kupang akibat perdagangan budak. Pada Tahun 1886 ia menetap di Desa Airmata sampai wafatnya 1897. Syeh Syarif Abubakar bin Abdulrachman Algadri merupakan leluhur keturunan Arab di Desa Airmata. 

          Pada Tahun 1860 pernah datang pula dua orang dari Pulau Bangka bernama Dipati Amir Bahrein dan Dipati Hamzah Bahrein. Mereka disingkirkan Belanda ke Kupang karena terlibat dalam perlawanan di Gunung Maras. Di Kupang mereka aktif menyebarkan agama Islam dan berhasil mendirikan sebuah masjid di Desa Bonipoi, Kupang. (Leiriza, 1983: 39-40).
          Di samping tokoh-tokoh tersebut pernah pula datang ke Kupang dari Banten K.H. Muhammad Arsad bin Alwan, K.H. Agus Salam dan H. Mansyur yang diasingkan pemerintah Belanda ke Kupang karena terlibat pemberontakan di Cilegon Tahun 1886-1892. Pada Tahun 1917 mereka dibebaskan dan kembali ke Banten setelah menetap 25 Tahun di Kupang dan aktif pada bidang keagamaan. (Leiriza, 1983:40-41).

Referensi :
http://beritasore.com/2009/09/09/agama-islam-masuk-ntt-pada-abad-15/
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/11/22/16778/menengok-saudara-minoritas-di-perkampungan-muslim-kupang/
http://wilson-therik.blogspot.com/2012/03/sejarah-singkat-hadirnya-agama-islam-di.html
                        

0 Response to "Sejarah Perkembangan Islam di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur - TUGAS SEJARAH"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel