REMIDI OH HOMO



Prok prok prok!!! Tepuk tangan ketua kelas memanggil anak buahnya
“Hai teman-teman, pelajaran bahasa inggris segera dimulai. Buruan masuk! Pak Jarno sudah jalan kekelas.” Teriak Hendi
Keadaan semakin kacau. Teman-teman sekelasku  sudah mulai kebingungan. Tidak peduli dengan keadaan teman. Semakin kesini keadaan semakin ribut dan tidak karuan. Disini yang digunakan hanya satu prinsip. Tidak berlaku asas gotong royong, jiwa korsa terabaikan, dan yang dipikirkan hanya satu, yaitu menyelamatkan diri.
Waktu itu kami sedang menunggu pelajaran bahasa inggris. Kami baru saja usai kerja praktek di bengkel mesin. Dengan mengabaikan lelah kami berjalan ke mushola. Kami beristirahat diserambi musholla sambil menanti pelajaran tersebut.
Pelajaran bahasa inggris adalah pelajaran wajib di sekolah. Para siswa wajib ikut. Pak Jarno adalah gurunya. Selain guru dia juga dosen di sebuah Universitas. Dia adalah guru yang sangat disiplin dan taat melaksanakan tata tertib. Tak satupun siswa berani meninggalkan kelasnya. Mau kencing pun, tidak diperbolehkan, harus ditahan sampai pelajaran selesai. Bagaimana kalau kebelet? Itu nasib. Memang kalau saking kebelet, kita harus menyusun kalimat izin dengan benar. Begitu juga cara pengucapannya. Harus benar, tanpa kesalahan sedikitpun. Kalau salah, siap-siap, hukuman menanti. berr
Kami berbondong-bondong lari ke ruang 18, ruang tempat pelajaran berlangsung. Takut terlambat masuk kekelas. Kalau terlambat, bisa tewas mengenaskan karena kedinginan akibat semprotannya. Ruang 18 berbeda dengan ruang-ruang yang lain. Ruangannya pisah dengan ruangan yang lain. Bersebelahan dengan tempat praktek kejuruan teknik listrik. Seperti biasa suasana kelas sepi dan gelap. Pasti dipelajarannya, semua pintu dan jendela wajib ditutup. Mungkin ini tempat yang dinginkannya untuk mengeksekusi para siswanya seperti hari-hari sebelumnya. Sepi karena tak satupun siswa berani berbicara sendiri. Hanya berani ketika ada pertanyaan dari dia. Itu saja kalau mudeng.
Sebelum pelajaran dimulai, seperti biasa, siswa akan diabsensi terlebih dahulu. Satu persatu nama dipanggil olehnya
“Agil Ismoyo!” panggilnya
“Yes, Sir.” Jawab Agil
“Ari Irwanto!” panggilnya
“Yes, Sir.” Jawab Ari
Sampai nama terakhir
“Yudi Prasetyo!” panggilnya
“Yes, Sir.” Jawab Yudi
Waktu itu, kami punya jiwa korsa. Kami kompak. Kompak untuk kebodohan.  Setiap Pak Jarno memanggil, pasti selalu dijawab “Yes, Sir.” Tak satupun kata terucap selain kata itu. Ini memang hal sepele. Tapi menurut dia ini adalah suatu kebodohan.
“Sudah hampir setahun saya mengajar. Saya perhatikan dari kemarin-kemarin, setiap saya memanggil, kalian kok jawabannya selalu itu. Tidak pernah berubah. Masa satu kelas jawab yes sir semua. Apa nggak ada kata lain? Present Sir, atau apa, toh banyak kan.” tanyanya dengan kesal
Suasana kelas tambah hening. Serasa tidak ada yang menggubris pertanyaan itu. Memang hal itu sudah kami rencanakan sebelum-sebelumnya. Biar dia tambah kesel sama kita. Dikelas kami ada tiga puluh lima ekor cowok, dan satu orang cewek, namanya Dani. Disebut ekor, karena menurut dia kami mirip binatang, yang tak punya sopan santun terhadap guru. Cewek memang pintar. Begitupun dengan Dani. Namun pada saat itu Dani juga ikut-ikutan menjawab yes sir. Mungkin ini yang disebut jiwa korsa, atau mungkin dia terkontaminasi virus yang menulari dia lewat pergaulan antar media sosial.
“Group One.” Panggilnya untuk presentasi di depan
“Yes Sir.” Jawab Tamaki si ketua kelompok
Sebelumnya, kami pernah dikasih tugas untuk presentasi. Sesuai dengan materi yang telah dibagi sesuai kelompok. Waktu itu, dibagi menjadi enam kelompok. Aku tergabung dalam kelompok lima, dan mendapat materi If Clause Type 1. Hanya kelompokku dan kelompoknya Tamaki yang belum dipanggil untuk maju presentasi. Untung kelompoknya Tamaki yang dipanggil.
Tamaki dan teman sekelompoknya tampil didepan. Materi yang akan mereka bahas adalah Sign and Symbol. Dengan media power point mereka menjelaskan kepada kami tentang arti dan kegunaan tanda atau symbol. Tentunya dengan menggunakan Bahasa Inggris yang baik dan benar.
Tamaki dan anggota kelompoknya menerangkan panjang lebar hingga waktu yang diberikan habis.
Eksekusi dimulai. Seperti sebelum-sebelumnya, eksekusi ternyata dilakukan. Sudah empat kelompok dia marah-marahi dengan alasan yang sama. Tapi, keempat kelompok tersebut tidak mendapat hukuman sama sekali. Dia tetap mengira bahasa yang dibawakan kami saat presentasi bukan Bahasa Inggris yang baik dan benar. “Pengucapannya salah kaprah.” Kata Pak Jarno
Sebagai guru yang baik. Dia mengajari kami cara berbahasa yang baik dan benar. Kalimat per kalimat kami tirukan satu persatu. Seperti yang sudah-sudah. Setiap pertemuan dengan dia, pasti seperti ini terus. Sudah seperti anak TK yang gagap akan bahasa.
Akhirnya, kami diberi hukuman. Dia menghukum kami untuk membuat video pembelajaran dengan waktu minimal dua puluh menit dengan media presentasi dan disaksikan oleh teman-teman sekelas. Dan itu dilakukan oleh setiap individu, dengan membawakan semua meteri. Ceritanya dia menyuruh kami untuk menjadi guru (gadungan) dengan semua materi yang diberikan olehnya.
“Hukuman dikumpulkan paling lambat hari Rabu di meja saya sebelum jam tujuh pagi. Tidak ada toleransi untuk kalian.” Kata Pak Jarno
“Maaf Pak. Besok Senin Kami sudah ujian sekolah? Masa hari Rabu?” Tanya Hendi sang ketua kelas
“Sudah saya bilang. Tidak ada toleransi untuk kalian. Ini pantas buat kalian. Sudah, sekarang kalian boleh pulang! Good Afternoon!”
“Good Afternoon Sir.” Jawab kami dengan penuh kekesalan
Kami sekelas keluar dari kandang macan. Hampir setiap mengikuti pelajaran itu, kami kesel semua. Timbullah pertanyaan. Sebenarnya yang dikeselin sama temen-temen itu palajarannya apa gurunya? Apa dua-duanya?
“Sebenarnya kamu kesel dengan gurunya apa pelajarannya sih Dan? Tanyaku ke Dani
“Sebenernya aku suka dengan pelajarannya. Tapi kenapa aku selalu kesel melihat guru homo itu.” Jawab Dani
“Apa? Homo? Maksutnya?”
“Iya, homo. kata teman-teman sih, Dia homo. Aku tidak mengerti soal itu. Tanya tuh yang lain.” Jawabnya
Masih dengan pertanyaan yang sama aku bertanya ke salah satu teman dekatku.
“Sebenarnya kamu kesel dengan gurunya apa pelajarannya to Lih?”
“Ya guru homo itu lah. Siapa lagi. Misalkan gurunya bukan dia, pasti pelajarannya menyenangkan.” Jawab Alih
Saat itu aku tercengang. Mengapa bisa disebut homo? Pertanyaan itu muncul tiba-tiba.  Usut punya usut. Ternyata guru ini sudah sejak lama dipanggil cowok homo atau lebih akrabnya guru homo. Di sekolah akrab dengan sebutan itu. Sebutan itu turun dari kakak kelas kami yang terdahulu. Sudah sejak dulu ia dipanggil homo. Efek kakak kelas memang tiada tandingannya. Super sekali. Homo? Mengapa homo? Harus melewati pendekatan untuk mendapat nilai baik dalam pelajarannya. Begitu kata kakak kelas.
Minggu libur. Teman-teman dari kelas lain sibuk belajar untuk persiapan ujian sekolah. Senin sekolah kami mengadakan ujian kenaikan kelas. Nasib kelas kami memang tidak sebegitu mulus paha artis. *Eh maksutnya tidak semulus nasib kelas lain. Kelas lain sibuk persiapan, tidak dibebani apapun, sedangkan kami gelisah (bacanya galau). Remidi harus dikumpulkan besok hari Rabu. Artinya kami hanya punya waktu tiga hari. Remidi oh remidi. Galau berat guys, hashtag akurapopo.
Ujian pertama kami lewati bersama. Kelas lain pulang lebih awal. Hanya kelasku yang pulang sore. Kami pulang sekitar jam lima. Pembagian tugas remidi oleh ketua kelas. Ada yang bertugas  memegang kamera, ada yang bertugas sebagai moderator, ada yang bertugas sebagai operator, ada yang tidak bertugas, dan tentunya semua anak harus mengisi materi.
Hari pertama kami lewati bersama. Sudah delapan belas orang selesai remidi. Artinya sudah separuh kelas yang remidi. Begitupun hari kedua. Berjalan dengan baik. Dua hari yang melelahkan. Dua hari selalu pulang sore. Kami pelajar bukan pekerja. Memang kami sepertinya dilatih untuk menjadi seorang pekerja.  Begitu kata anak SMK. Remidi selesai. Artinya kami sudah menyelesaikan hukuman kami. Tidak peduli baik atau buruk, benar atau salah, sesuai atau tidaknya, yang penting kami sudah menyelesaikan hukuman itu. Benar atau tidak itu tergantung penilaian guru. Hukuman video presentasi itu kami kumpulkan dalam satu flashdisk untuk dikumpulkan besok paginya. Kami hanya bisa berdoa, semoga sukses.
Hukuman itu telah kami selesaikan. Belenggu itu telah lepas. Sekarang kami sudah seperti kelas yang lain. Kami kembali fokus dengan ujian kenaikan kelas. Memang remidi sangat menguras akal dan tenaga. Habis akal juga habis tenaga. Sudah baik, remidi tidak menguras iman dan tidak menguras dompet.

0 Response to "REMIDI OH HOMO"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel